Namun bagi Mosaddegh, tujuan utamanya adalah mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab di sekitarnya untuk memerangi kendali Inggris atas industri minyak,” katanya.
Zionisme muncul sebagai ideologi politik pada akhir abad ke-19 yang menyerukan pembentukan tanah air bagi orang-orang Yahudi yang menghadapi kekejaman di Eropa.
Segalanya berubah secara dramatis ketika pemerintahan Mosaddegh digulingkan dalam kudeta yang diorganisir oleh badan intelijen Inggris dan Amerika Serikat pada tahun 1953. Kudeta tersebut mengangkat kembali Syah yang menjadi sekutu setia Barat di wilayah tersebut.
Israel mendirikan kedutaan de facto di Teheran, dan akhirnya keduanya bertukar duta besar pada tahun 1970-an.
Hubungan perdagangan tumbuh, dan Iran segera menjadi penyedia minyak utama bagi Israel, dengan keduanya membangun jaringan pipa yang bertujuan mengirim minyak Iran ke Israel dan kemudian Eropa.
Teheran dan Tel Aviv juga memiliki kerja sama militer dan keamanan yang luas, namun sebagian besar dirahasiakan untuk menghindari provokasi negara-negara Arab di kawasan.
“Israel membutuhkan Iran lebih dari Iran membutuhkan Israel. Israel selalu menjadi pihak yang proaktif, namun Syah juga menginginkan cara untuk meningkatkan hubungan [Iran] dengan AS, dan pada saat itu Israel dipandang sebagai cara yang baik untuk mencapai tujuan tersebut,” kata Kvindesland.
“Ada juga prospek untuk membangun aparat keamanan, dan SAVAK [dinas keamanan dan intelijen Iran] sebagian dilatih oleh Mossad. Ini adalah hal-hal yang bisa diperoleh Iran dari negara lain, namun Israel ingin menyediakannya karena mereka membutuhkan mitra di Timur Tengah yang cukup anti-Zionis dan anti-Israel,” terangnya lagi.
Sejarawan tersebut mengatakan bahwa Shah terutama didorong oleh kebutuhan akan aliansi, keamanan dan perdagangan, dan “tidak menunjukkan kepedulian terhadap Palestina dalam hubungannya dengan Israel.”
Apa yang terjadi setelah revolusi Iran?