Enam minggu setelah perang di Gaza, serangan Israel terhadap rumah sakit hampir menjadi motif konflik tersebut. Setidaknya 21 dari 35 rumah sakit di Gaza – termasuk pusat kanker di Jalur Gaza – tidak berfungsi sama sekali, dan yang lainnya rusak serta kekurangan obat-obatan dan pasokan penting.
Komentator Taghreed El-Khodary mengatakan bahwa Israel meyakinkan dunia bahwa Rumah Sakit al-Shifa adalah markas besar Hamas karena merupakan rute termudah bagi mereka untuk menyerang Gaza.
“Mereka tahu bahwa hal yang paling aman adalah pergi dan membangun semacam markas militer bagi mereka di Kota Gaza. Mereka tidak bisa datang dari timur. Sekarang inilah yang mereka lakukan, pergi ke Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya untuk mendirikan markas lain bagi mereka untuk menyerang dan membunuh lebih banyak warga sipil,” kata El-Khodary kepada Al Jazeera.
Menurut Omar Rahman, anggota Dewan Urusan Global Timur Tengah yang berbasis di Doha, ini adalah bentuk perang psikologis.
“Serangan terhadap rumah sakit menunjukkan kepada masyarakat bahwa tidak ada tempat yang aman bagi [warga Palestina],” kata Rahman kepada Al Jazeera, seraya menambahkan bahwa Israel bertindak dengan impunitas (kebal hukum) total.
Tahani Mustafa, analis senior Palestina di International Crisis Group, mengatakan tindakan membuat warga Palestina merasa tidak aman di setiap fasilitas di Jalur Gaza adalah untuk memadamkan segala bentuk perlawanan.
“Ini adalah bagian dari pola pelecehan yang sudah berlangsung lama terhadap staf dan layanan medis, di mana Israel menunjukkan kepada warga Palestina bahwa tidak ada seorang pun dan tidak ada ruang yang aman,” kata Mustafa kepada Al Jazeera. (red)
SUMBER: AL JAZEERA/WAFA