Beragam Cara Mahasiswa Dunia Boikot Produk Pro Israel, Berhasilkah?

Profesor Joseph Sonnenfeld dari Universitas Yale terus memantau perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia yang telah menyatakan dukungan dan solidaritasnya terhadap Israel.

Banyak perusahaan menyumbang kepada kelompok bantuan internasional yang juga melayani daerah kantong Gaza yang terkepung, banyak perusahaan hanya menyatakan dukungannya, beberapa menyatakan dukungan dan bantuannya untuk Israel dan/atau untuk Gaza.

Dari daftar tersebut, Al Jazeera mengkategorikan 212 perusahaan berdasarkan kriteria berikut:

  • Mengecam serangan Hamas pada 7 Oktober (184 perusahaan)
  • Mengatakan mereka berpihak pada Israel (62 perusahaan)
  • Menjanjikan uang kepada Israel atau kelompok Israel (35 perusahaan)
  • Menjanjikan uang kepada kelompok bantuan khusus untuk Palestina (3 perusahaan)
  • Menjanjikan uang kepada kelompok bantuan internasional (26 perusahaan)

Dari 212 perusahaan dalam daftar Sonnenfeld, setidaknya 30 perusahaan memberikan janji finansial kepada Israel dan kelompok afiliasinya. Beberapa janji terbesar termasuk: Michael Bloomberg ($25 juta), Jefferies ($13 juta), Blackstone ($7 juta), Salesforce ($2,4 juta), Boeing ($2 juta), Disney ($2 juta), Johnson & Johnson ($2 juta ) dan beberapa perusahaan berjanji untuk mencocokkan sumbangan karyawan.

Setidaknya 16 perusahaan menjanjikan dana kepada kelompok bantuan internasional. Diantaranya adalah UBS ($10 juta), Chanel ($4 juta), Salesforce ($2,3 juta), Verizon ($2 juta) dan jumlah yang tidak diungkapkan dari Capri Holdings, yang memiliki Jimmy Choo, Versace dan Micheal Kors.

Setidaknya tiga perusahaan secara khusus menjanjikan dana kepada kelompok bantuan Palestina, termasuk Accenture ($1,5 juta) untuk Bulan Sabit Merah Palestina.

Bagi A’siah Abdalah, 21 tahun, boikot adalah bagian penting dari kehidupan sehari-harinya yang dimulai jauh sebelum tanggal 7 Oktober.

Lahir dan besar di Nikaragua, Abdalah sering menentang sensor pers dan pembunuhan terhadap perempuan saat masih duduk di bangku sekolah menengah, sebuah upaya yang terkadang membuat orang tuanya khawatir akan keselamatannya.

Kakek buyut Abdalah adalah orang Palestina, tapi dia tidak pernah bertemu dengannya. Ketertarikannya terhadap warisan budayanya meningkat ketika pada usia 14 tahun, beberapa anak laki-laki mencoba mengganggunya di sekolah dengan mengatakan kepadanya bahwa “kamu tidak punya negara.” Untuk membuktikan bahwa para penindasnya salah, dia mulai belajar lebih banyak tentang sejarah Palestina.

Abdalah mengatakan bahwa ketika dia memberi tahu orang-orang bahwa dia adalah seorang Kristen Palestina, hal itu sering kali mengejutkan orang-orang, sehingga membuka pintu untuk percakapan yang lebih luas dengan mereka yang berasumsi bahwa semua orang Palestina adalah Muslim.

Pembunuhan warga Kristen Palestina di Gaza, katanya, adalah genosida di dalam genosida. Ada antara 800 dan 1.000 warga Kristen Palestina yang tersisa. Garis keturunan yang dapat ditelusuri kembali ke orang-orang percaya pertama – sepenuhnya terhapus. “Garis keturunan, seluruh keluarga hilang,” katanya kepada Al Jazeera.

A’siah Abdalah [Delaney Nolan/Al Jazeera]

Itu sebabnya dia dengan tegas mengatakan bahwa dia seorang Kristen. “Identitas Palestina saya tidak terpisah dari identitas Kristen saya. Penting bagi masyarakat untuk melihat dan memahaminya, terutama di negara yang sangat menyamakan Kekristenan dengan Zionisme,” ujarnya.

Abdalah saat ini adalah mahasiswa di Universitas New Orleans di negara bagian Louisiana, AS dan berharap untuk melanjutkan ke sekolah hukum.

“Saya selalu memboikot merek tertentu karena saya terus memantau daftarnya,” sambil mengatakan bahwa dia menganggap penting untuk memeriksa situs resmi BDS karena ada informasi yang salah tentang boikot tersebut.

Namun, Abdalah menghadapi kendala unik di Louisiana. Pada tahun 2018, Gubernur Bel Edwards menandatangani undang-undang anti-BDS yang melarang negara membuat kontrak dengan perusahaan yang mendukung kampanye BDS.

Meski begitu, Abdalah berharap organisasi mahasiswa di universitasnya akan mengeluarkan pernyataan simbolis untuk mendukung Palestina. Untuk saat ini, dia fokus memboikot McDonald’s, Starbucks, dan Disney.

Koda Sokol, seorang organisator Suara Yahudi untuk Perdamaian, adalah keturunan penyintas Holocaust. Kakek-neneknya melarikan diri ke Israel untuk menghindari genosida, sehingga keterikatan terhadap Israel sebagai solusi yang diperlukan untuk keselamatan orang Yahudi di keluarga saya sangat erat.” Orang tuanya bahkan mendesaknya untuk mendaftar militer Israel ketika ia masih muda.

“Saya dibesarkan dengan Zionisme wajib. Dan saya butuh waktu lama untuk menyadarinya,” kata Sokol.

Setelah sekolah menengah, dia pindah ke Israel dan tinggal di kibbutz, sebuah komunitas kolektif Yahudi. Namun setelah beberapa bulan, kibbutz dibom. Tiba-tiba, dia terpaksa meninggalkan Israel.

Dia menganggap hal ini sebagai sebuah persimpangan jalan – sebuah peristiwa yang bisa mendorongnya ke arah yang sangat berbeda dan lebih konservatif. “Saya beruntung bisa terlibat dalam organisasi lain yang membuat saya terpapar pada organisasi anti-Zionis,” katanya.

Koda Sokol [Delaney Nolan/Al JAzeera]

Sokol, seorang queer dan trans, mengibaratkan pengalamannya seperti berada di dalam lemari. Sebelum melakukan transisi, dia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya berada di dalam lemari karena dia tidak dihadapkan pada kemungkinan menjadi orang lain. “Dan saya pikir saya merasakan hal yang sama dengan Zionisme, di mana saya bahkan tidak memahami bahwa saya adalah seorang Zionis. Saya hanya belum menemukan alternatif lain,” ucapnya.

Sokol sekarang menjadi mahasiswa PhD di Universitas California Santa Cruz, di mana disertasinya membahas hubungan antara transness dan anti-Zionisme sebagai identitas politik. Banyak cabang JVP di AS, katanya, dipimpin oleh kaum trans. “Dan menurut saya itu bukan suatu kebetulan,” bebernya.

Mesin propaganda Zionis sangat kuat dan efektif dalam meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada yang perlu dimobilisasi, namun media sosial telah memaparkan informasi baru kepada masyarakat, kata Sokol, termasuk informasi tentang peran AS.

“Saya pikir saat ini kita melihat banyak orang memahami untuk pertama kalinya bahwa ini adalah situasi kolonial, apartheid, dan genosida meskipun ini bukan hal baru. Dan saya pikir ini ada hubungannya dengan media sosial,” katanya.

Tindakan seperti boikot penting karena merupakan cara bagi masyarakat untuk menggunakan kekuasaan tertentu. “Saya pikir ini adalah situasi yang sangat membebani, dan saya pikir kewalahan bisa menjadi perasaan yang sangat melemahkan. Jika orang tidak ada hubungannya dengan perasaan tersebut, sering kali mereka menjadi konservatif. Itulah sebabnya boikot merupakan bagian yang sangat penting dalam gerakan ini,” imbuhnya. (ajz/red)

SUMBER: AL JAZEERA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *