
Ilustrasi persalinan. (Ist/Net)
TANGERANG, KLIKBANTENTEN.ID – Seorang ibu berinisial IA, warga Rancalabuh, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, harus mengalami kenyataan pahit dan trauma mendalam saat menjalani proses persalinan di sebuah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kemiri.
Pasalnya, pada waktu proses persalinan yang seharusnya menjadi momen bahagia, justru berubah menjadi serangkaian kejadian menyakitkan yang membuat seorang ibu berinisial IA itu merasa terjebak dalam dugaan malpraktik medis saat persalinan dirinya di Puskesmas Kemiri.
IA menceritakan bahwa pada saat proses persalinannya, pada 10 Maret 2025 lalu, saat itu semuanya terlihat berlangsung dengan sangat tergesa-gesa dan jauh dari standar yang diharapkan.
IA menyebut, jika bidan berinisial D bersama rekannya melakukan tindakan episiotomi, atau sayatan yang dibuat saat melahirkan pada bagian perineum, jaringan yang berada di antara lubang vagina dan anus dengan sembarangan, menyebabkan luka yang parah hingga mendekati area anus.
“Saya merasakan sakit yang luar biasa, bahkan lebih dari rasa sakit saat melahirkan,” ujar IA, mengenang kelahiran anaknya. Sabtu 5 April 2025.
Ketika itu kondisi IA semakin memburuk setelah persalinan. IA juga bercerita, bahwa saat pergantian shift bidan yang membawa bidan J dan bidan T untuk memeriksa kondisinya lebih rinci.
Hasil pemeriksaan itu menunjukkan kadar hemoglobin (HB) sangat rendah, yang kemudian mengungkap adanya pendarahan hebat akibat plasenta yang tertinggal di dalam rahim IA.
Parahnya lagi, kata IA, ketika itu bidan J terpaksa melakukan tindakan manual tanpa memberikan anestesi atau pembiusan untuk menghilangkan rasa sakit untuk mengeluarkan sisa plasenta yang ada di dalam rahim IA, menyebabkan IA merasakan sakit yang amat sangat luar biasa.
Situasi kian memburuk ketika IA dirujuk ke rumah sakit untuk menjalani operasi kuret atau operasi prosedur untuk mengangkat jaringan dari dalam rahim.
Seminggu setelah operasi, IA kembali mengalami nyeri hebat di area jahitan. Saat memeriksa sendiri, IA tekejut menemukan sesuatu, yaitu ada sebuah tinja yang menempel pada jahitannya.
Pemeriksaan pun dilakukan lebih lanjut di Puskesmas, setelah pemeriksaan itu mengungkapkan bahwa jahitannya mengalami komplikasi parah, yang disebut sebagai “jahitan grade 4”.
Menurut cerita IA saat itu, tanpa bantuan dari pihak Puskesmas, IA mencari pertolongan ke Rumah Sakit Bunda Sejati.
IA menceritakan, kalau dokter di sana menyatakan bahwa jahitannya sangat berantakan dan tidak sesuai prosedur, bahkan diibaratkan seperti kabel listrik yang kusut.
IA akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Metro Hospital untuk menjalani operasi perbaikan jahitan perineum. Karena kadar HB-nya yang semakin menurun hingga 7,2, IA harus menjalani transfusi darah sebelum operasi perbaikan.
“Dokter dan suster yang menangani kembali mempertanyakan tempat persalinan saya. Mereka menyarankan agar saya tidak melahirkan di Puskesmas lagi,” ungkap IA dengan penuh penyesalan.
Hingga saat ini, IA masih dirundung rasa trauma mendalam akibat pengalaman pahit yang dia alami tersebut. Menurut keterangan IA, sejauh ini tidak ada permintaan maaf atau bentuk tanggungjawab dari pihak bidan maupun Puskesmas setempat yang menangani persalinan IA, termasuk bidan D.
Meskipun orang-orang terdekatnya menyarankan agar IA tidak memperpanjang masalah ini, IA yang merasa sakit hati dan bingung harus mengadu kepada siapa, dan IA pun tetap ingin meminta pertanggungjawaban dari pihak Puskesmas dan bidan yang menangani persalinan IA pada waktu itu.
Kasus ini menjadi sorotan serius terkait kualitas pelayanan medis di Puskesmas, khususnya dalam menangani proses persalinan. Sampai saat ini, IA berharap ada pertanggungjawaban dari pihak terkait, dan berharap Dinas Kesehatan dan pemerintah setempat bergerak cepat untuk menangani kasus yang dialaminya di Puskesmas Kemiri saat persalinan dirinya itu.
(bas/red)